kutamaya

Coffee Corner Small Talk about World


Dari keadaan porak-poranda, Botelho sanggup membalik nasib Embraer. Apa kunci suksesnya?

Sungguh, proses turnaround memang bisa berawal dari hal yang dipandang sederhana. Simaklah pengalaman seorang lelaki bernama Mauricio Botelho. April 2001, dia mengirim kotak kecil dengan tujuan "Robert Milton, CEO Air Canada di Montreal". Paket itu dikirimnya dari Sao Jose dos Campos, Brazil, tempat Empresa Brasileira de Aeronautica (Embraer) bermarkas. Botelho adalah CEO pabrikan pesawat jet mini ini. Brazil, negara dunia ketiga itu punya pabrikan pesawat?


Ya, dan jangan keliru hanya mengidentikkan Brazil dengan sepak bola. Jauh sebelum Indonesia punya PT Dirgantara Indonesia (dahulu IPTN) yang nasibnya tak keruan itu (selain menghabiskan uang negara), Kementerian Aeronautika Brazil telah mendirikan Embraer sebagai pabrikan pesawat komersial dan militer pada 1969. Di awal 1980-an, Embraer bahkan mengalami masa jaya yang tak pernah dikecap IPTN. Tahun-tahun itu, seperti diungkap Sean Silcoff (Financial Post, 26 Maret 2005), Embraer menjadi bagian dari kemajuan industri militer Brazil. Penjualannya per tahun mencapai US$ 2 miliar, dan berencana melebarkan sayap dengan terjun ke industri pembuatan tank tempur serta kapal selam nuklir standar NATO.


Lantas, apa yang dikirimkan Botelho? "Halo, Robert," ujar Botelho ketika Milton mulai memutar keping DVD yang dikirim dari Sao Jose itu. Selanjutnya, laiknya sales, dia mempromosikan pesawat jet mini buatan Embraer sekaligus menyatakan kegembiraannya bila Air Canada juga berkenan menggunakan pesawat made in Brazil itu. Saat itu, Milton juga diinformasikan bahwa sebuah truk yang mengangkut interior pesawat Embraer yang sanggup menampung 70-118 penumpang tengah berkeliling Amerika Utara. "Tuan Milton, kami amat senang bila Anda sudi melihatnya," ujar Botelho merayu.


Botelho memang harus bekerja keras menjual pesawat jet mini yang diproduksinya. Semuanya bermula ketika di tahun 1982, krisis utang Meksiko meledak. Seperti penyakit menular, krisis utang pun menyebar hingga ke Brazil yang menggoyangkan perekonomian Negeri Samba itu. Dan Embraer, sebagai BUMN Brazil termasuk yang terkena getahnya: proyek-proyek bisnis berkurang, termasuk dari militer.


Seperti kemesraan yang terlampau cepat menyingkir, nasib Embraer tak ubahnya roller coaster. Penjualan terus menyusut, sehingga laba entah menguap ke mana. Puncaknya terjadi tahun 1994. Tahun itu, rapor kinerja keuangan benar-benar merah menyala: pendapatan hanya US$ 177 juta (tahun 1989 masih US$ 700 juta), dan kerugian mencapai US$ 190 juta, sehingga lebih dari 6 ribu karyawan (setengah dari total karyawan) dirumahkan demi mengurangi beban.


Menghadapi hal itu, Pemerintah Brazil sebagai pemilik tak punya jalan lain untuk menyelamatkannya kecuali memprivatisasi. Namun, laiknya negara berkembang, Embraer telah menjadi simbol kebanggaan. Banyak pihak menentang penjualan itu. Hanya karena perekonomian Brazil memburuk (krisis minyak akibat Perang Teluk II) dan kebutuhan untuk menyelamatkan BUMN-lah yang membuat privatisasi jalan terus. Pemerintah Brazil juga tak mau bertambah pusing, karena sebelumnya utang Embraer sebanyak US$ 700 juta telah dihapusbukukan, sementara uang sejumlah US$ 350 juta telah diinjeksikan agar tetap bisa beroperasi.


Akhir 1994, di tengah protes publik yang masih berhamburan, Embraer yang napasnya terus megap-megap resmi dilepas ke swasta. Sejumlah 45% saham pemerintah dijual kepada orang kaya Brazil, Julio Bozano. Dan September 2005, mendaratlah Botelho sebagai CEO baru Embraer.


Botelho ditarik Bozano karena reputasinya. Sebenarnya, Botelho adalah orang yang tak punya latar belakang dunia aerodinamika sama sekali. Namun, dia punya prestasi segudang. Di antaranya, sukses menangani sejumlah proyek konstruksi seperti generator pembangkit listrik tenaga nuklir, pabrik baja, petrokimia, dan memimpin sebuah perusahaan rekayasa papan atas di Brazil. Bozano berharap Botelho bisa mengeluarkan tuah tangan dinginnya untuk memperbaiki nasib Embraer.


Harapan itu, kini (2005) bolehlah dikatakan telah benar-benar dipenuhi. Seperti dikutip Fortune (11 Juli 2005), Embraer sekarang disebut-sebut sebagai salah satu privatisasi tersukses di dunia, dan termasuk pelaku bisnis di industri penerbangan dengan kinerja yang mengagumkan. Tahun lalu, penjualannya meningkat 61% dibanding tahun 2004, mencapai US$ 3,4 miliar. Sementara itu, laba meningkat dua kali lipat menjadi US$ 380 juta. Embraer bukan lagi perusahaan yang amburadul. Dan itu jelas buah dari tangan dingin Botelho, yang kini berusia 63 tahun.


Sejatinya, tantangan Botelho tidaklah mudah. Ketika dia tiba di Embraer, perusahaan ini benar-benar hancur lebur. Proyek bisnis yang didapatkannya hanya US$ 200 juta, sementara utang yang membelit mencapai US$ 400 juta. Namun, Botelho memang eksekutif jempolan sehingga di Brazil, bahkan di Amerika Latin, kelak dia disebut the living business legend. Semua situasi yang buruk itu diusirnya jauh-jauh.


Yang membedakan Botelho dari para eksekutif biasa adalah insting bisnisnya. Pada pertemuan sebelum mengambil kendali Embraer, dia bertanya pada CEO ad interim, untuk menanyakan bisnis Embraer. "Dia mengatakan, 'Bisnis kita adalah membuat pesawat'," ujar Botelho. "Saya katakan, 'Salah. Bisnis Anda bukan sekadar membuat pesawat, tapi melayani pelanggan'," tandasnya untuk menunjukkan betapa paradigma bisa membuat orang keliru dalam melakukan bisnis.


Berangkat dari paradigma tersebut, Botelho melakukan serangkaian perubahan. Untuk urusan SDM, faktor kepuasan pelanggan terus digenjot. Bahkan para teknisi tak luput dari penekanan arti penting kepuasan pelanggan. DVD yang dikirimnya pada Milton merupakan salah satu wujud konkret tentang arti penting kepuasan pelanggan dalam pemahaman Botelho -- atau tepatnya bagaimana membuat pelanggan tertarik untuk kemudian dipuaskan dengan layanan yang paripurna.


Sewaktu menerima DVD player seukuran tangan dari Brazil, Milton mengaku sama sekali tak mengenal CEO yang satu ini. Terlebih, Kanada juga punya pabrikan jet mini untuk penerbangan regional yang jauh lebih terkenal, Bombardier Inc. Bahkan markas besar Air Canada dengan pabrikan ini bersebelahan di Montreal, hanya sepelemparan batu. Bagaimana bisa Air Canada mempertimbangkan untuk membeli pesawat buatan Brazil? Begitu pikirnya.


Toh, iklan dan rayuan Botelho begitu menggoda dan sayang untuk dilewatkan begitu saja. Milton memenuhi ajakan Botelho, melihat truk yang mengangkut interior pesawat, untuk kemudian jatuh cinta pada pesawat made in Brazil itu. "Desain dan kenyamanannya benar-benar menggoda untuk orang-orang penerbangan," ujar pria yang kini menjabat CEO Ace Aviation Holdings, induk Air Canada.

Kemampuan menjual dan menarik pelanggan memang menjadi kelebihan Botelho. Akan tetapi, seperti disebut di atas, insting bisnislah yang menonjol dari lelaki ini, yang kelak menyelamatkan Embraer. Dan ide jet mini untuk penerbangan regional adalah bukti naluri bisnis itu, yang kelak menjadi kunci sukses turnaround Embraer.


Tahun 1990-an, tak satu pun pabrikan pesawat yang terbilang sukses di pasar jet mini berkapasitas 70-110 penumpang. Pasar masih dikuasai pesawat berbadan lebar karena penerbangan regional (point to point) belum marak. Ide jet regional kala itu tidaklah menarik. Namun, Botelho berani menggebrak pasar ini, bahkan dengan pesawat berkapasitas 50 seat.

Sebenarnya, Bombardierlah pelopor pasar jet regional, bahkan telah menjadi pemimpin pasarnya. Hanya, ketika Botelho melakukannya dari Brazil, maka perlahan-lahan, kian terbukalah pasar yang menghubungkan antara satu kota kecil dengan kota kecil lainnya. Dan Botelho beruntung karena idenya mendapat dukungan dari para pemegang saham. Bahkan, Pemerintah Brazil turut mengucurkan bantuan sebesar US$ 98 juta.


Yang lebih membuat Botelho beruntung adalah kenyataan bahwa sambutan pasar cukup baik. Maskapai banyak yang tertarik mengembangkan penerbangan point to point dan tertarik membeli jet regional. Embraer 145 pertama dijual ke Continental Express pada 1996. Kemudian menyusul The American Eagle. Dan nasib semakin baik ketika Bombardier ternyata tak memiliki keunggulan komparatif seperti yang dimiliki Embraer: buruh Brazil yang murah. Biaya tenaga kerja yang rendah ini memungkinkan Embraer menghajar Bombardier lewat harga yang lebih bersaing.


"Ini adalah sebuah contoh tentang bagaimana strategi dapat membuat perusahaan sukses, atau sebaliknya, membunuh manakala strategi itu keliru," ujar Botelho bangga. Dan dia memang patut bangga karena hanya dalam waktu tiga tahun kepemimpinannya (1998), Embraer yang merugi mulai meraup laba. Bahkan, perlahan tapi pasti, dengan pengembangan tipe pesawat jenis terbaru yang kapasitasnya variatif (di antaranya 110 seat dan 145 seat), pangsa pasar Embraer terus meningkat, terakhir mencapai 35%, sementara Bombardier 65%. Para pelanggannya juga meluas. Maskapai ternama JetBlue pun menjadi pelanggannya. Selain JetBlue, sejumlah maskapai low cost juga memesan pesawat Embraer. Di antaranya Paramount Airways dari India, dan FlyBE dari Inggris. "Mereka mengecoh semua ekspektasi orang," kata Ricardo Fernandez, analis ING Financial Market di Sao Paulo, Brazil.


Benar. Dan bukan cuma mengecoh. Keberanian Botelho menantang CEO Air Canada di tahun 2001 patut diacungi jempol karena langkah itu ibarat masuk ke kandang macan, mengingat Kanada adalah markas besar Bombardier. Di sini, Botelho beruntung lantaran Milton adalah sosok CEO yang cukup fair dalam berbisnis.


Setelah melihat truk yang mengangkut interior Embraer, Milton -- yang merasa tertarik -- sepenuhnya sadar bahwa tidaklah mudah begitu saja memesan dengan mengabaikan Bombardier yang notabene produk sesama anak negeri Kanada. Maka untuk membuat sistem yang fairness dengan tanpa melukai siapa pun, dia mengundang para pabrikan -- Boeing, Airbus, Bombardier, dan Embraer tentunya -- untuk datang sekaligus mendemokan produk masing-masing. Milton juga mengundang media, analis, politisi, sejumlah pejabat Pemerintah Kanada, serta frequent flyer. "Kami tanya mereka, ‘Apakah penting Air Canada membeli pesawat buatan Kanada?’," kenang Milton. "Mereka menjawab, kita harus membeli pesawat terbaik." Jawaban itulah yang membuka jalan Embraer melaju lebih kencang, karena Air Canada menjatuhkan pilihannya pada pesawat made in Brazil.


Kini, dari keterpurukan Embraer telah melangkah dengan mantap. Memiliki 16.878 karyawan (per Juni 2005), Embraer menatap masa depan dengan cerah. Botelho pun senang dengan kondisi yang ada mengingat pasar penerbangan regional terus bertambah secara drastis. Sejak 1995, tercatat rute jet regional telah meningkat 1.000% di Eropa, dan 1.400% di Amerika Serikat. Kebanyakan peningkatan ini datang dari penerbangan komuter yang punya rute sendiri, atau rute kontrak untuk menghubungkan kota-kota kecil dengan hub miliknya. Maskapai yang aktif mengembangkan pasar ini, di antaranya Continental Express, American Eagle, Mesa, dan Horizon.


Namun, seperti halnya persaingan Airbus dan Boeing di pesawat berbadan lebar, langkah Embraer untuk menapak jenjang yang lebih tinggi, terus diintai Bombardier. Perseteruan mereka malah tak kalah panas dari rivalitas Airbus-Boeing. Di satu kesempatan, Embraer sukses menghantam Bombardier di pasar pesawat 80-118 seat dengan pesanan dari 170 perusahaan, termasuk GE Commercial Aviation Services. Kali lain, Bombardier mengalahkan Embraer lewat pesawat berkapasitas 70-86 seat.


Tentang siapa yang unggul di pasar ini, CEO Bombardier, Pierre Beaudoin hanya berkomentar singkat, "Aturan main di sini adalah menyeimbangkan antara kenyamanan dan biaya operasional." Maksudnya, siapa yang akan menang adalah mereka yang yang bisa mendesain pesawat yang nyaman, dengan biaya murah. Beaudoin sendiri kini tengah menekan Embraer lewat pesawat yang lebih segar, C-series dengan kapasitas 100-135 seat.


Siapa kelak yang akan unggul, memang tidak mudah diprediksi, sekalipun Embraer punya momentum untuk terus mengiris kue Bombardier mengingat jumlah pesanan pesawat yang terus berdatangan. Termasuk dari maskapai ternama, Southwest Airlines. Namun, menurut Ricardo Fernandez, tanpa pesanan Southwest sekalipun, Embraer setidaknya akan menjual 130 pesawat per tahun, selama 6 tahun ke depan.


Terlepas dari siapa yang menang, turnaround yang diraih Embraer, membuat Botelho senang bukan kepalang. Setidaknya, menunjukkan pada dunia betapa bisa kompetitifnya perusahaan Brazil (seandainya Dirgantara juga bisa seperti ini!). "Pers internasional kerap kali menghubungkan perusahaan Brazil dengan persepsi bahwa kami membakar hutan, membunuh anak-anak, tak bayar utang, dan mencuri paten," ujarnya. "Saya tak menolak kenyataan bahwa hal-hal itu memang terjadi, tapi itu bukan gambaran mendasar Brazil. Kami menampilkan sisi lain dari Brazil yang belum dipersepsikan dengan baik," sambungnya.


Ya, lewat "tarian Samba"-nya dalam upaya menyehatkan perusahaan, Embraer kini memang menampilkan sisi lain dari Brazil: kemampuan bersaing di pasar yang amat padat modal dan teknologi. Namun, seperti gading yang tak retak, langit pun tampaknya tak selalu cerah bagi Embraer. Begitu harga minyak meningkat, begitu kekacauan finansial terjadi di bisnis penerbangan, seluruh pabrikan pesawat akan menderita. Inilah tantangan yang mesti dihadapi Tuan Botelho. ( swa )

0 comments:

Arsip Blog

Fresh Asian Girls